Krisis ekonomi dan krisis moneter yang mendera Indonesia di rentang tahun 1998 sampai sekarang masih terasa efeknya. Krisis moneter menyebabkan nilai rupiah terkapar di hadapan nilai dolar, bahkan sampai sekarang. Disambung dengan krisis ekonomi juga di tahun 1998 yang ditandai inflasi gila-gilaan mencapai 77%. Selain sistem perbankan Indonesia yang lemah, salah satu penyebab krisis moneter dan krisis ekonomi di 1998 adalah beban utang Indonesia yang menumpuk seperti bom waktu siap meledak pada saatnya. Kebiasan berutang itu menguras APBN setiap tahunnya.
Dalam kasus Indonesia, setiap tahun sedikitnya 20-30 persen dana APBN disedot untuk membayar utang pokok dan cicilan bunganya. Contohnya, pada tahun 2006, pemerintah harus merogoh Rp. 91,60 Triliun untuk membayar utang luar negeri. Dengan perincian Rp. 28,01 Triliun untuk pembayaran bunga dan utang pokok besar Rp. 63,59 Triliun, terdiri dari utang luar negeri dan utang dalam negeri, dimana Rp.600 Triliun adalah utang luar negeri. Kewajiban membayar Rp.91,60 Triliun yang sudah disetor sekitar Desember 2006 itu sama dengan 15,26 persen total utang luar negeri. Atau setara dengan 15 persen total penerimaan APBN 2006.
Senayan 1998 |
Salah sendiri, alih-alih utang digunakan untuk membangun,
sebagian besar justru dikorupsi. Program ini sejalan dengan strategi tertua
Setan, menghembuskan keinginan dan membujuk manusia untuk terus memenuhi
hasratnya. Karena gaji pegawai pemerintah kecil, maka tiada lain caranya
kecuali, seperti yang Setan bisiskkan, agar mereka menggunakan segala
kesempatan, kewenangan, dan jabatan, untuk memperkaya diri. Dan berhasil..!!
Indonesia dari tahun ke tahun tidak bergeser dari peringkaat lima besar untuk
juara korupsi dunia!
Utang telah Setan gunakan untuk menghancurkan negeri dengan
kekayaan melimpah (baca: Indonesia) agar rusah sehancur-hancurnya. Utang telah
menjadikan mereka, mengutip Pubilius Syrus, pengarang roman, dari seorang
merdeka menjadi sebagai budak. Debt is the slavery of the free. Tidak
terkecuali, menjadi budak IMF, Bank Dunia, dan lembaga donor lainnya.
Ketika krisis menyapu kawasan Asia Tenggara, mantan Presiden Soeharto terpaksa membungkuk di hadapan Mitchel Camdessus. Soeharto, sang Jendral yang lebih dari 30 tahun berjaya, tiba-tiba tertunduk di hadapan komprador asing dan dipaksa untuk menandatangani Letter of Intents (LoI).
Ketika krisis menyapu kawasan Asia Tenggara, mantan Presiden Soeharto terpaksa membungkuk di hadapan Mitchel Camdessus. Soeharto, sang Jendral yang lebih dari 30 tahun berjaya, tiba-tiba tertunduk di hadapan komprador asing dan dipaksa untuk menandatangani Letter of Intents (LoI).
Penandatanganan LoI IMF |
Alih-alih menyehatkan ekonomi Indonesia, LoI yang berisi
segepok kebijakan yang dipaksakan IMF, lebih membuat suasana ekonomi bertambah
panas. Kekacauan ekonomi pun merebak dan mulai merembet ke dunia perbankan.
Banyak kredit perbankan macet dan non-performing loan-nya (NPLs) menjadi
tinggi. NPLs ini yang mengerutkan jumlah suplai uang beredar. Bank merespons
dengan menyita kolateral dan menuntut pembayaran yang dipercepat dari
basabahnya.
Namun, apa daya, depresiasi mata uang yang begitu tajam telah membuat utang dari debitur –baik individu, perusahaan, bahkan negara- bertambah tanpa mereka menaikkan agregat utang yang dipinjam. Solusi yang diberikan text book untuk situasi ini adalah dengan melakukan kebijakan expansionary monetary. Caranya sederhana, melalui tiga hal berikut: mendorong tabungan, mengurangi cadangan wajib (reserve requirement) dan meningkatkan suku bunga.
Dari ketiga hal ini, IMF merekomendasikan yang ketiga. Ya, menaikkan suku bunga. Atau lebih dikenal dengan kebijakan uang ketat (tight money policy). Argumentasinya, suku bunga tinggi maka dana-dana akan tersedot kembali dalam sistem perbankan. Tidak akan ada dana yang lari ke luar negeri karena sweeter bunga dalam negeri yang jauh lebih menarik. Dengan demikian, kepercayaan investor akan bisa dipulihkan.
Inflasi 1998 mencapai 77.5% |
Karena khawatir uangnya hilang, para deposan ramai-ramai
menarik simpanan di Bank. Bank tak bisa memenuhi dan lempar handuk. Lalu
terbitlah kebijakan untuk menalangi bank-bank yang kolaps dengan apa yang
disebut Bank Indonesia sebagai kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI).
Ke dalam modal perbankan yang sudah negatif itu disuntikkan
obligasi pemerintah. Bunga yang disebabkan penerbitan obligasi ini tentu
ditanggung pemerintah. Kompensasinya, aset-aset produktif bank diambil alih oleh
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Badan inilah yang kemudian
melakukan restrukturisasi dan penjualan aset, tepasnya obral aset nasional.
Strategi yang sangat menguntungkan bagi manusia berjiwa setan dari negara lain.
Kenapa begitu..? Sekali lagi, inilah akibat sebagai budak. IMF menghendaki penjualan aset nasional segera dilakukan. Siapa pembelinya..? Tentu tidak jauh-jauh darri cukong yang menjadi tangan panjang IMF. Tak heran bila hasil menjual aset yang serba tergea-gesa itu, hanya memberikan recovery rate yang rendah. Bahkan terendah di kawasan. Selain itu, BLBI ini pada akhirnya hanya menjadi ajang bagi-bagi duit bagi orang berduit dengan total kerugian negara mencapai Rp.600T.
Selain kebijakan uang ketat (tight money
policy), IMF juga menawarkan resep kebijakan fiskal (fiscal policy) kepada
pemerintah Indonesia. Kebijakan ini dimaksudkan utnuk mengurangi pengeluaran
pemerintah. Pada saat yang sama, meningkatkan pendapatan melalui pajak.
Harapannya, pemerintah bisa mengurangi budget deficit-nya sehingga memulihkan
kepercayaan investor. Namun kontraksi anggaran yang diciptakannya menimbulkan
shock masyarakat karena banyak subsidi yang ditarik (seperti BBM). Rakyat yang dalam kondisi
kesusahan semakin terhimpit. Apalagi banyak diantaranya yang menganggur
mendadak karena terkena dampak rasionalisasi perusahaan. Mereka pun marah.
Inilah kebijkan yang makin mengurangi kepercayaan mereka kepada pemerintah.
Gelombang demo besar-besaran akhirnya melibas dan melengserkan Presiden
Soeharto.